Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 02 Desember 2010

Pameran Foto"Budak Seks" Militer Jepang


Mantan jugun ianfu di Jawa Barat, Ema Kasimah (80), menangis, terkenang akan kisah sedihnya pada masa penjajahan Jepang, saat bercerita dalam Konferensi Aktivis Perempuan Jawa Barat di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, dalam peringatan Hari Ibu, Minggu (21/12/2009)
Wartawati Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning menggelar pameran foto “Jugun Ianfu”, para perempuan Nusantara yang dijadikan budak seks para tentara Jepang semasa Perang Dunia II.
“Saya dan Banning pada tahun 2007 memutuskan untuk merekam pengalaman pribadi para perempuan penghibur di Indonesia melalui potret, gambar, dan tulisan untuk mematahkan kebisuan korban,” kata Janssen kepada pers di Jakarta, Kamis (12/8/2010).
Acara pameran foto Jugun Ianfu yang digelar di kantor Erasmus Huis kawasan Kuningan, Jakarta, menampilkan foto 18 mantan jugun ianfu menceritakan kisah masa lalu yang disertai tabu yang melingkupi mereka selama ini.
Diperkirakan 50.000 dan 200.000 jugun ianfu termasuk 5.000 sampai 20.000 perempuan Indonesia telah dipaksa masuk bordil militer.
Erasmus Huis, diambil dari nama sarjana agung abad ke-16, adalah gedung milik Kerajaan Belanda di Jakarta. Belanda berkepentingan mewadahi pameran ini karena mereka juga korban kekejaman Jepang, setelah bertahun-tahun begitu jemawa jadi penjajah di Nusantara.
Saat bangsa kate dari timur itu datang, jutaan warga Belanda, baik sipil maupun militer, dipenjarakan tanpa peradilan dengan kondisi mengenaskan.
Sementara sebagaimana dapat terlihat pada pameran ini, para mantan jugun ianfu mengalami perlakuan sangat tidak manusiawi di tangsi-tangsi militer tentara pendudukan Jepang yang berubah jadi bordil militer.
Menurut Janssen, riset sejarah di Indonesia hampir tidak menaruh perhatian para korban pendudukan Jepang di Indonesia, terutama para korban perempuan. “Para jugun ianfu selama 65 tahun bertahan dengan menyimpan rahasia kepedihan,” ungkap Janssen.
Kata Janssen, rasa malu, stigma, dan rasa bersalah telah membungkam para wanita jugun ianfu. Janssen juga mengatakan, sementara para korban menghadapi dampak fisik dan emosional, para pelaku Jepang bisa bebas begitu saja.
“Pada waktu itu bagi militer Jepang, sistem perempuan penghibur adalah sebuah kebijakan pragmatis saja,” ungkap Janssen.
Selanjutnya, bordil militer ini menjadi cara efektif untuk meningkatkan semangat pasukan, memelihara hukum dan tatanan, serta menghindari pemerkosaan serta penyakit kelamin.
“Diperkirakan 50.000 dan 200.000 jugun ianfu termasuk 5.000 sampai 20.000 perempuan Indonesia telah dipaksa masuk bordil militer,” ungkap Janssen.
Menurut Janssen, bagi perempuan Indonesia, menjadi jugun ianfu adalah sebuah mimpi buruk. “Banyak di antara jugun ianfu yang masih berusia di bawah umur, beberapa baru berusia 11, 12, atau 13 tahun,” ungkap Janssen.
Janssen mengungkapkan, menemukan para mantan jugun ianfu di Indonesia tidaklah mudah. “Kami telah menjelajahi Pulau Jawa, Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Timor Barat dan total mewawancarai serta memotret sekitar 50 perempuan,” ungkap Janssen.
Janssen juga mengungkapkan, para mantan jugun ianfu tidak hanya butuh permohonan maaf, tetapi juga kompensasi finansial yang telah bertahun-tahun dijanjikan oleh kelompok-kelompok advokasi.
“Dari semua hal ini mereka (jugun ianfu) mendulang kekuatan untuk mengatasi rasa malu dan mengangkat muka pada dunia,” ungkap Janssen.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
    TV Streaming Indonesia